Minggu, 11 Mei 2014

PERSALINAN PERVAGINAM PASCA BEDAH SESAR (VAGINAL BIRTH AFTER CESAREAN)



BATASAN
VBAC adalah persalinan pervaginam pada penderita dengan riwayat bedah sesar pada kehamilan sebelumnya. Keberhasilan VBAC pada penderita dengan insisi segmen bawah rahim pada populasi umum sekitar 60 – 80%.

RIWAYAT VBAC
Dahulu ada anggapan bahwa sekali bedah sesar harus melahirkan dengan bedah sesar. Sejak mulai diperkenalkan insisi transversal rendah pada SBR yang memiliki risiko ruptura uteri lebih rendah 10 kali lipat dibanding dengan insisi vertikal pada uterus, mulai tahun 1980-an diperkenalkan VBAC. Wanita yang pernah melahirkan dengan bedah sesar, mempunyai dua kemungkinan untuk persalinan pada kehamilan berikutnya, yaitu bedah sesar ulang elektif atau mencoba untuk persalinan pervaginam. Sampai saat ini tidak ada penelitian yang membandingkan keamanan, komplikasi, dan morbiditas serta mortalitas pada bayi dan maternal diantara kedua cara persalinan tersebut.

KONTRAINDIKASI VBAC
1)      Kontraindikasi Mutlak:
a)      Komplikasi medis atau obstetrik yang melarang persalinan pervaginam.
b)      Ketidakmampuan untuk melakukan bedah sesar emergensi.
c)      Insisi uterus pada operasi sesar sebelumnya klasik / vertikal.
d)     Defek uterus pada fundus atau sekitar fundus akibat operasi sebelumnya (misalnya miomektomi yang melibatkan seluruh ketebalan uterus).
e)      Riwayat ruptura uteri sebelumnya.
2)      Kontraindikasi Relatif:
a)      Adanya parut multipel pada uterus (misalnya > 2 kali SC).
b)      Setiap faktor lain (yang tersebut di atas) yang berkaitan dengan risiko ruptura uteri lebih dari 1%.
Jika tidak didapatkan kontraindikasi, penderita dengan riwayat 1 kali bedah sesar segmen bawah rahim, dapat dianjurkan untuk melakukan VBAC dengan terlebih dahulu melakukan diskusi yang adekuat (informed consent) tentang manfaat dan risiko bagi maternal dan perinatal.


KRITERIA PENENTUAN PENDERITA UNTUK VBAC
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan penderita untuk VBAC adalah:
a)      Menjalani satu kali bedah sesar insisi melintang rendah.
b)      Secara klinis memiliki pelvis yang adekuat.
c)      Tidak ada riwayat pembedahan uterus atau riwayat ruptura uteri.
d)     Adanya dokter kebidanan yang siap setiapp saat pada fase aktif persalinan dan mampu melakukan bedah sesar emergensi.
e)      Ada dokter anestesi dan personil kamar operasi untuk melakukan operasi sesar emergensi.

KOMPLIKASI
Ruptura uteri merupakan komplikasi yang paling sering pada VBAC, dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Kemungkinan terjadinya ruptura pada wanita yang pernah melahirkan pervaginam dan menjalani 2 kali bedah sesar sekitar 0,5%, tidak lebih besar dibanding yang 1 kali bedah sesar.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN
Tingkat keberhasilan VBAC pada populasi umum pada wanita dengan riwayat insisi transversal rendah sekitar 60 – 80%. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasila atau kegagalan VBAC antara lain adalah:
a)      Riwayat persalinan pervaginal setelah bedah sesar.
b)      Indikasi bedah sesar sebelumnya.
c)      Jumlah operasi sesar sebelumnya.
d)     Obesitas maternal.
e)      Makrosomia janin.
f)       Status kematangan serviks.
g)      Induksi atau augmentasi persalinan.
h)      Tipe insisi uterus.
i)        Usia maternal.

PENGELOLAAN
Pasien dengan kontraindikasi untuk melakukan VBAC, harus dilakukan bedah sesar ulang elektif pada kehamilan 39 minggu, atau dapat dilakukan lebih awal jika telah terjadi persalinan atau adanya indikasi khusus yang lain.
1)      Konseling pasien
VBAC dapat dianjurkan kepada pasien dengan riwayat 1 kali bedah sesar dengan insisi SBR dengan informed consent yang baik. Keberhasilan VBAC sekitar 60 – 80%. Risiko komplikasi perinatal yang serius secara keseluruhan sekitar 1:2000 VBAC, yang sedikit lebih besar dibanding Bedah Sesar ulang. Keputusan untuk melakukan VBAC atau tidak  “tergantung pada pasien” setelah konsling yang baik.
2)      Pendidikan prenatal
Pendidikan prenatal secara individual yang dilakukan untuk menghindari persalinan dengan bedah sesar, tidak meningkatkan tingkat keberhasilan VBAC.
3)      Consent
4)      Presentasi bukan kepala
Pada presentasi bukan kepala, dapat dilakukan versi eksternal sefalik (ECV) dengan aman pada wanita dengan riwayat bedah sesar. Tingkat keberhasilan ECV sama atau setingkat lebih tinggi pada wanita dengan riwayat SC dibanding yang tidak SC. Jika ECV berhasil dilakukan tingkat keberhasila VBAC sekitar 65 – 75%.
5)      Pemeriksaan USG pada SBR
Tidak ada wanita yang memiliki ketebalan SBR > 4,5 mm mengalami dehiscence atau ruptura, sedangkan proporsi komplikasinya akan meningkat jika ketebalan SBR berkurang, dan jika didapatkan ketebalan SBR < 3,5 mm atau ditemukan adanya defek lebih menguntungkan dilakukan bedah sesar ulang.
6)      Kepentingan untuk mengurangi risiko
Untuk mengurangi risiko VBAC, hal yang berikut harus siap setiap (siap 24 jam dalam seminggu) saat melakukan VBAC, yaitu: dokter kebidanan yang berpengalaman, dokter anestesia, perawat dan personil kamar operasi, kemampuan untuk melakukan bedah sesar emergensi.
7)      Deteksi ruptura intrapartum
a)      Gangguan FHR sering terjadi, meskipun tidak selalu, sebagai tanda adanya ruptura sekitar 55 – 85%. Meskipun gangguan FHR dapat sebabkan oleh penyebab yang lain, akan tetapi adanya gangguan FHR pada kasus dengan riwayat bedah sesar kemungkinan ruptur harus dipertimbangkan.
b)      Adanya nyeri pada daerah di atas bekas parut uterus merupakan prediktor yang buruk. Pemakaian epidural anestesi biasanya tidak menutupi gejala ruptura.
c)      Hilangnya / tidak terabanya bagian bawah janin secara bermakna, terutama pada kala dua mungkin terjadi akibat ruptura, tetapi manfaatnya terbatas.
d)     Tidak ada data yang cukup untuk menilai manfaat eksplorasi uterus pasca persalinan pasca bedah sesar yang berhasil.
8)      Cost-effectiveness
Keberhasilan melakukan persalinan pervaginam pasca bedah sesar, akan mengurangi besarnya biaya yang diperlukan dibanding dengan melakukan bedah sesar ulang.



DAFTAR PUSTAKA
1.      Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Prior cesarean delivery. In: Williams Obstetric. 23rd Ed. McGrawHill Medical, New York, 2010.
2.      Ness A. Vaginal birth after cesarean. In: Berghella V. Obstetric evidence based guidelines. Series in Maternal Fetal Medicine. Informa healthcare, UK, 2007.
3.      Martel MJ, MacKinnon CJ. Guidelines for vaginal birth after previous cesarean birth. SOGC Clinical Practice Guidelines. JOGC, Februari 2005.

Senin, 16 Desember 2013

Sampling and sampling distributions

 Sumber : Book Petrie&Sabine, Medical Statistics at a Glance

Why do we sample?
In statistics, a population represents the entire group of individuals in whom we are interested. Generally it is costly and labourintensive to study the entire population and, in some cases, may be impossible because the population may be hypothetical (e.g.patients who may receive a treatment in the future). Therefore we collect data on a sample of individuals who we believe are representative of this population (i.e. they have similar characteristics to the individuals in the population), and use them to draw conclusions (i.e. make inferences) about the population. When we take a sample of the population, we have to recognize that the information in the sample may not fully reflect what is true in the population. We have introduced sampling error by studying only some of the population. In this chapter we show how to use theoretical probability distributions (Chapters 7 and 8) to quantify this error.

Obtaining a representative sample
Ideally, we aim for a random sample. Alist of all individuals from the population is drawn up (the sampling frame), and individuals are selected randomly from this list, i.e. every possible sample of a given size in the population has an equal probability of being chosen. Sometimes, we may have difficulty in constructing this list or the costs involved may be prohibitive, and then we take a convenience sample. For example, when studying patients with a particular clinical condition, we may choose a single hospital, and investigate some or all of the patients with the condition in that hospital. Very occasionally, non-random schemes, such as quota
sampling or systematic sampling, may be used. Although the statistical tests described in this book assume that individuals are selected for the sample randomly, the methods are generally reasonable as long as the sample is representative of the population.

Point estimates
We are often interested in the value of a parameter in the population (Chapter 7), e.g. a mean or a proportion. Parameters are usually denoted by letters of the Greek alphabet. For example, we usually
refer to the population mean as m and the population standard deviation as s. We estimate the value of the parameter using the data collected from the sample. This estimate is referred to as the sample statistic and is a point estimate of the parameter (i.e. it takes a single value) as opposed to an interval estimate (Chapter 11) which takes a range of values.

Sampling variation
If we take repeated samples of the same size from a population, it is unlikely that the estimates of the population parameter would be exactly the same in each sample. However, our estimates should all be close to the true value of the parameter in the population, and the estimates themselves should be similar to each other. By quantifying the variability of these estimates, we obtain information on the precision of our estimate and can thereby assess the sampling error. In reality, we usually only take one sample from the population.
However, we still make use of our knowledge of the theoretical distribution of sample estimates to draw inferences about the population parameter.

Sampling distribution of the mean
Suppose we are interested in estimating the population mean; we could take many repeated samples of size n from the population, and estimate the mean in each sample. Ahistogram of the estimates of these means would show their distribution (Fig. 10.1); this is the sampling distribution of the mean. We can show that:
• If the sample size is reasonably large, the estimates of the mean follow a Normal distribution, whatever the   distribution of the original data in the population (this comes from a theorem known as the Central Limit Theorem).
• If the sample size is small, the estimates of the mean follow a Normal distribution provided the data in the population follow a Normal distribution.
• The mean of the estimates is an unbiased estimate of the true mean in the population, i.e. the mean of the estimates equals the true population mean.
• The variability of the distribution is measured by the standard deviation of the estimates; this is known as the standard error of the mean (often denoted by SEM). If we know the population standard deviation (s), then the standard error of the mean is given by:
When we only have one sample, as is customary, our best estimate of the population mean is the sample mean, and because we rarely know the standard deviation in the population, we estimate the standard
error of the mean by:
where s is the standard deviation of the observations in the sample (Chapter 6). The SEM provides a measure of the precision of our estimate.

Interpreting standard errors
• Alarge standard error indicates that the estimate is imprecise.
• Asmall standard error indicates that the estimate is precise.
The standard error is reduced, i.e. we obtain a more precise estimate, if:
• the size of the sample is increased (Fig. 10.1);
• the data are less variable.

SD or SEM?
Although these two parameters seem to be similar, they are used for different purposes. The standard deviation describes the variation in the data values and should be quoted if you wish to illustrate variability
in the data. In contrast, the standard error describes the precision of the sample mean, and should be quoted if you are interested in the mean of a set of data values.
SEM =s n
SEM =s n
10 Sampling and sampling distributions Sampling and sampling distributions Sampling and estimation 27

Sampling distribution of the proportion
We may be interested in the proportion of individuals in a population who possess some characteristic. Having taken a sample of size n from the population, our best estimate, p, of the population proportion, p, is given by:
where r is the number of individuals in the sample with the characteristic. If we were to take repeated samples of size n from our population and plot the estimates of the proportion as a histogram, the p = r n
resulting sampling distribution of the proportion would approximate a Normal distribution with mean value, p. The standard deviation of this distribution of estimated proportions is the standard error of the proportion. When we take only a single sample, it is estimated by:
This provides a measure of the precision of our estimate of p; a small standard error indicates a precise estimate.

Kamis, 29 November 2012

PERDARAHAN POST PARTUM


PERDARAHAN POST PARTUM

BATASAN
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml (pada persalinan pervaginam) atau melebihi 1000 ml (pada persalinan dengan bedah sesar) yang terjadi setelah bayi lahir (Williams Obstetrics menggunakan batasan perdarahan yang terjadi setelah kala III lengkap). Perdarahan post partum dapat mulai terjadi sebelum maupun setelah terlepasnya plasenta. Disebut perdarahan post partum primer jika perdarahan post partum terjadi dalam 24 jam, jika terjadi setelah 24 jam tetapi sebelum 12 minggu post partum disebut perdarahan post partum sekunder.
Untuk kepentingan klinik, setiap kehilangan darah yang berpotensi menyebabkan instabilitas hemodinamik ibu harus dianggap sebagai perdarahan post partum.

PATOFISIOLOGI
Secara normal, setelah bayi lahir uterus akan mengecil secara mendadak dan akan berkontraksi untuk melahirkan plasenta, menghentikan perdarahan yang terjadi pada bekas insersi plasenta dengan menjepit pembuluh darah (disebut “living ligatures of the uterus”) pada tempat tersebut. Apabila mekanisme ini tidak terjadi atau terdapat sesuatu yang menghambat mekanisme ini (adanya sisa plasenta, adanya selaput plasenta yang tertinggal, adanya bekuan darah, dsb.) akan terjadi perdarahan akibat lumen pembuluh darah pada bekas insersi plasenta tidak tertutup atau tertutup tidak optimal. Perdarahan juga dpat terjadi akibat adanya robekan pada jalan lahir, dan gangguan pembekuan darah.

GEJALA KLINIS
Penyebab terjadinya perdarahan post partum, secara mudah adalah 4-T:
a)      Tonus        : atonia uteri, kandung kemih yang over distensi.
b)      Tissue        : retensi plasenta (sisa plasenta) dan bekuan darah.
c)      Trauma      : perlukaan pada vagina, serviks, atau uterus.
d)     Trombin    : gangguan pembekuan darah (bawaan atau didapat).

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko untuk terjdinya perdarahan post partum adalah: kehamilan pertama kali, ibu gemuk, bayi besar, kehamilan kembar, persalinan lama atau persalinan dengan augmentasi, dan perdarahan antepartum. Paritas tinggi bukan faktor risiko yang kuat. Yang penting untuk diingat adalah: perdarahan post partum primer bahkan sering terjadi pada wanita risiko rendah, yang sering tidak diperkirakan.

PENGELOLAAN PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER
a)      Mintalah bantuan apabila menghadapi kejadian ini (perlu pendekatan multidisipliner). Pasanglah infus dengan jarum besar (jika belum terpasang) untuk menjamin sirkulasi yang adekuat dan untuk memudahkan memasukkan obat-obatan, sebelum sirkulasi menjadi kolaps.
b)      Lakukan pijat uterus (masase uterus) sampai berkontraksi baik. Banyak bukti yang mendukung bahwa “masase uterus” dapat mencegah terjadinya perdarahan post partum akibat atonia uterus.
c)      Identifikasi adanya laserasi jalan lahir dan lakukan perbaikan. Tempatkan jahitan pertama kali setidaknya 1 cm di atas ujung luka. Lakukan pengamatan daerah yang akan dijahit dengan adekuat, jika perlu penjahitan dilakukan di kamar operasi.
d)     Lakukan eksplorasi rongga rahim untuk memastikan tidak adanya laserasi uterus dan menjamin tidak adanya sisa plasenta dan bekuan darah dalam rongga rahim.
e)      Ambilah contoh darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan jumlah trombosit, golongan darah, fibrinogen, produk-produk pemecahan fibrin, prothrombin time, dan partial prothrombin time.
f)       Berikan uterotonika:
1)      Oksitosin 20 – 80 UI dalam 1000 cc NaCl / RL secara drip. Pemberian 20 U oksitosin dalam 1000 ml NaCl / RL cukup efektif jika diberikan dengan secara drip dengan dosis 10 ml/ menit (20 mU oksitosin per menit) yang disertai dengan masase uterus yang efektif; dan atau
2)      Misoprostol 800 – 1000 ug (4 – 5 tablet) secara rektal. Misoprostol dapat diberikan sebagai alternatif pada persalinan pervaginam jika oksitosin tidak tersedia.
3)      Methil ergometrin 0,2 mg secara IM (jangan diberikan pada penderita darah tinggi) setiap 2 – 4 jam, dan atau
4)      Carboprost tromethamine (jika tersedia) 0,25 mg IM setiap 15 – 90 menit. Dosis maksimal 2 mg (jangan diberikan pada penderita asthma).
Pemberian misoprostol 800 ug secara rektal biasanya dipergunakan sebagai “obat lini pertama” untuk pengelolaan perdarahan post partum, oleh karena secara bermakna menurunkan risiko kemungkinan tetap adanya perdarahan setelah intervensi. Akan tetapi tidak ada cukup bukti untuk menunjukkan bahwa misoprostol lebih baik dibanding dengan kombinasi oksitosin dan ergometrin saja dalam pengelolaan perdarahan post partum.  Juga tidak cukup bukti untuk menentukan kombinasi obat terbaik, cara pemberian, dan dosis obat dalam pengelolaan perdarahan post partum.
g)      Pasang kateter menetap untuk memantau produksi urine.
h)      Jika dicurigai adanya retensi sisa plasenta, dapat dilakukan kuretase.
i)        Jika diperlukan dapat diberikan transfusi darah dan produk darah.
j)        Tetap monitor penderita, jangan ditinggalkan sendirian.

PENGELOLAAN PERDARAHAN POST PARTUM SEKUNDER
Sampai saat ini tidak ada informasi penelitian secara RCTs (randomised controlled trials) untuk pengelolaan perdarahan post partum sekunder.

PADA KASUS TIDAK RESPONSIF TERHADAP OXYTOCIN
Perdarahan yang masih tetap berlangsung setelah pemberian oksitosin berulangkali, mungkin disebabkan oleh adanya laserasi jalan lahir. Segera lakukan langkah-langkah yang berikut:
1)      Lakukan kompresi bimanual.
2)      Cari bantuan tenaga.
3)      Pasang infus jalur ke dua dengan jarum yang besar, sehingga drip oksitosin tetap dapat diberikan, dan dapat diberikan cairan lain/darah melalui infus yang ke dua. Oleh karenanya setiap pasien obstetri harus diketahui golongan darahnya sebelum persalinan. Pada kondisi sangat darurat, golongan darah “O” dengan golongan “Rhesus Negatif” dapat diberikan.
4)      Lakukan ekplorasi rongga rahim kembali untuk memastikan tidak adanya sisa plasenta, tidak adanya bekuan darah, dan laserasi uterus/robekan uterus.
5)      Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk memastikan tidak adanya robekan serviks dan vagina. Lakukan penjahitan secara benar jika ditemukan laserasi jalan lahir.
6)      Lakukan pemasangan kateter menetap untuk memantau produksi urine.
7)      Pada kasus yang tetap tidak memberikan respon terapi dengan langkah-langkah di atas, pertimbangkan untuk melakukan intervensi pembedahan. Tindakan yang dapat dilakukan: mengikat arteria uterina, mengikat arteria iliaka interna, melakukan kompresi uterus dengan tehnik B-Lynch, penggunaan tampon uterus atau dengan mempergunakan Foley kateter 24F yang kemudian diisi dengan 60 – 80 NaCl (pada penderita yang menginginkan  fertilitasnya dipertahankan). Tindakan tersebut dapat dikombinasikan sebelum memutuskan untuk melakukan histerektomi.

PENYULIT
Penyulit yang dapat terjadi pada perdarahan post partum adalah: syok hipovolemik, DIC, gagal ginjal, gagal hati, ARDS, dan kematian penderita.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetrical hemmorrhage. In: Williams Obstetric. 23rd Ed. McGrawHill Medical, New York, 2010.
2.      Crawford JT, Tolosa JE. Abnormal third stage of labor. In: Berghella V. Obstetric evidence based guidelines. Series in Maternal Fetal Medicine. Informa healthcare, UK, 2007.
3.      Hofmeyr  GJ, Neilson JP, Alfirevic Z, Crowther CA, Gulmezoglu AM, Hodnett ED, Gyte GML, Duley L. A cochrane pocketbook. Pregnancy and childbirth. John Wiley and Son Ltd. The Cochrane Collaboration. 2008.
4.      Thorp JM, Jr. Clinical aspects of normal and abnormal labor. In: Creasy RK, Resnik R, Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR. Creasy and Resnik’s maternal – fetal medicine. Principles and practice. 6th Ed. Saunders elsevier, 2009. p 691 – 717.
5.      Leduc D, senikas V, Lalonde AB. Activemanagement of the third stage of labour: prevention and treatment of postpartum hemorrhage. SOGC Clinical Practice Guideline. JOGC, Oktober 2009. p 980 – 93.

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.