Sabtu, 06 Oktober 2012

KETUBAN PECAH DINI


KETUBAN PECAH DINI
( PRELABOR RUPTURE OF MEMBRANES )


BATASAN:

Adalah pecahnya kulit ketuban secara spontan sebelum timbulnya tanda-tanda persalinan. Dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan. Yang dimaksud dengan periode laten adalah interval antara pecahnya ketuban dengan onset persalinan. Lamanya periode laten bervariasi, berbanding terbalik dengan usia kehamilan.

ETIOLOGI :

Penyebab ketuban pecah dini adalah:
1.      Idiopatik.
2.      Infeksi.
3.      Polihidramnion.
4.      Serviks inkompetens.
5.      Abnormalitas uterus.
6.      Akibat servikal sirklase atau amniosentesis.
7.      Trauma.

DIAGNOSIS:

Pemeriksaan vaginal sebaiknya dihindari, oleh karena meningkatkan risiko infeksi asenden. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan speculum secara steril, akan didapatkan :
1.      Terlihat keluarnya amnion melalui canalis servikalis pada pemeriksaan inspekulo.
2.      Nitrazine test memberikan hasil positif (Hasil false positif sekitar 25%; hasil false positif dapat disebabkan oleh kontaminasi darah atau cairan seminalis).
3.      Gambaran ferning pada pemeriksaan cairan amnion dengan mikroskop (Tidak selalu dikerjakan).
4.      Gambaran oligohidramnion pada USG sangat mendukung diagnosis, apabila terdapat riwayat keluar cairan dari vagina.

DIAGNOSIS BANDING:

1.      Cairan dalam vagina, dapat fluor albus atau urine.
2.      Hind water dan fore water rupture of the membarane.

PENGELOLAAN:
Pengelolaan ketuban pecah dini yang terjadi pada usia kehamilan berapapun diperlukan:

1.      Konfirmasi / penentuan diagnosis yang akurat.
2.      Penilaian kondisi ibu hamil dan kesejahteraan janin.
3.      Penilaian adanya kondisi / keadaan lain yang memerlukan penanganan segera atau keadaan yang memerlukan persalinan segera.
4.      Penilaian kondisi serviks, meskipun bila mungkin pemeriksaan vaginal (VT) dihindarkan, hal ini terutama pada kehamilan preterm, atau pada ketuban pecah dini pada kehamilan aterm yang memilih pengelolaan konservatif.
5.      Peningkatan temperature menjadi 38,50 C atau takikardia pada ibu atau janin.

Pengelolaan ketuban pecah dini pada kehamilan aterm ( > 37 minggu ):

Pada penelitian, pengelolaan kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini, apakah segera melakukan induksi persalinan atau konservatif yang dipilih tidak ditemukan perbedaan outcome. Apabila setelah 6 – 12 jam tidak terjadi persalinan lebih baik dilakukan induksi persalinan. Akan tetapi pilihan penderita perlu diperhatikan.

1.      Hindari pemeriksaan vaginal / VT (apabila mungkin; terutama jika memilih pengelolaan konservatif).
2.      Antibiotika profilaksis. Dapat diberikan injeksi Ampicillin 2 gram kemudian diberikan setiap 6 jam atau Clindamycin 300 mg setiap 8 jam.
3.      Induksi persalinan atau pengelolaan ekspektatif tergantung kondisi penderita atau pilihan pasien.

Rekomendasi klinis:
Pada pasien dengan KPD pada kehamilan aterm, direkomendasikan induksi persalinan. Induksi persalinan harus sudah dilakukan dalam 6 – 12 jam KPD, jika mungkin dilakukan lebih awal. Oksitosin lebih aman pada usia kehamilan aterm dengan KPD.


Pengelolaan ketuban pecah dini pada kehamilan < 37 minggu:

Pada usia kehamilan ini, pilihan induksi persalinan atau pengelolaann ekspektatif sangat dipengaruhi kemampuan unit perawatan, terutama perawatan neonatus. Apabila usia kehamilan kurang dari 34 minggu lebih baik dikelola secara konservatif, kecuali jika terdapat tanda korioamnionitis.

Pada prinsipnya pengelolaan pada usia kehamilan ini adalah:
1.      Hindari pemeriksaan vaginal.
2.      Pemberian antenatal kortikosteroid: betametason 12 mg IM setiap 12 jam (dua kali pemberian) atau deksametason 5 mg IM setiap 6 jam (empat kali pemberian). Kortikosteroid tidak boleh diberikan apabila terdapat infeksi.
3.      Pemberian antibiotika profilaksis : Injeksi Ampicillin 2 gram dan eritromisin 250 mg keduanya secara IV setiap 6 jam untuk 48 jam, kemudian diikuti pemberian secara oral 5 hari lagi dapat memperbaiki luaran neonatal. Apabila terdapat tanda korioamnionitis, berikan spectrum antibiotika yang lebih luas. Pada klinikal korioamninitis dapat diberikan Ampicilin 2 gram IV setiap 6 jam, ditambah Gentamisin 1,5 mg / kg BB diberikan IV setiap 8 jam.
4.      Pemberian tokolitik untuk menghentikan kontraksi uterus: Drip Terbutaline (BricasmaR) 1 ampul dalam D5% mulai 10 tetes/menit. Boleh dinaikkan setiap 30 menit 10 tetes/menit sampai maksimal 40 tetes/menit atau ditemukan tanda-tanda: Nadi > 120 x/menit, Tekanan darah sistolik < 90 mmHg, atau ibu mengeluh berdebar-debar. Bila kontraksi stop: pertahankan tetesan sampai minimal 12 jam setelah kontraksi hilang. Maintenance dapat diberikan secara per oral.
5.      Pengawasan penderita, terutama apabila terdapat tanda-tanda infeksi. (Monitor terhadap: Nadi ibu, temperature rektal ibu, denyut jantung janin, adanya nyeri tekan uterus, PPV berbau, Lekositosis).
6.      Apabila pengelolaan konservatif berhasil, usia kehamilan kurang dari 34 minggu penderita boleh rawat jalan dengan pesan: apabila demam atau keluar cairan lagi kembali ke rumah sakit, tidak boleh coitus, tidak boleh manipulasi vaginal.
7.      Apabila penderita tidak menghendaki pengelolaan konservatif, berikan informed consent yang jelas (risiko terhadap bayi yang lahir, risiko kegagalan tindakan,dsb), kemudian lakukan induksi persalinan sesuai protap yang ada.


KOMPLIKASI:

Komplikasi ketuban pecah dini pada kehamilan aterm:
1.      Infeksi pada janin/neonatus.
2.      Infeksi pada ibu.
3.      Kompresi / prolapsus tali pusat.
4.      Kegagalan induksi persalinan.


Komplikasi ketuban pecah dini pada kehamilan preterm:
1.      Persalinan preterm.
2.      Infeksi pada janin/neonatus.
3.      Infeksi pada ibu.
4.      Kompresi / prolapsus tali pusat.
5.      Kegagalan induksi persalinan.
6.      Hipoplasia pulmonalis.
7.      Deformitas pada janin.


DAFTAR PUSTAKA:

1.    Saifuddin AB, Rachimhadi T. Buku acuan nasional: Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Ed.1. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,2001.
2.    Anonim. Alarm International: A program to reduce maternal mortality and morbidity. Jakarta, 2003.
3.    Leveno K.J; Cunningham F.G; Alexander J.M; et al. Williams Manual of obstetrics pregnancy complications. 22nd Ed. Preterm ruptured membranes. McGraw Hill, 2007.
4.    Myers VS. Premature rupture of membranes at or near term. In: Berghella V. Obstetric evidence based guidelines. Series in maternal fetal medicine. Informa heathcare. Informa UK Ltd, 2007.
5.    Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Premature Birth. In: Williams Obstetric. 23rd Ed. McGrawHill Medical, New York, 2010.
6.    Bergehella V. Prevention of preterm burth. In: Berghella V. Obstetric evidence based guidelines. Series in maternal fetal medicine. Informa heathcare. Informa UK Ltd, 2007.
7.    Locatelli A, Andreani M, Vergani P. Preterm premature rupture of membranes (PPROM). In: Berghella V. Obstetric evidence based guidelines. Series in maternal fetal medicine. Informa heathcare. Informa UK Ltd, 2007.



INDUKSI PERSALINAN


INDUKSI PERSALINAN

BATASAN
Induksi persalinan adalah tindakan untuk merangsang terjadinya kontraksi uterus sebelum onset persalinan yang terjadi secara spontan dengan tujuan untuk melahirkan hasil konsepsi. Sedangkan “cervical ripening” adalah proses yang terjadi sebelum persalinan di mana serviks uteri menjadi lunak, tipis dan terbuka.

INDIKASI
Induksi persalinan harus dipertimbangkan apabila manfaat yang didapat dengan terjadinya persalinan pervaginam melebihi potensial risiko bagi ibu dan janin akibat induksi persalinan itu sendiri. Hal ini HARUS didiskusikan dengan wanita  hamil tersebut sebelum dilakukan tindakan induksi persalinan. Indikasi induksi persalinan adalah:
a)      Kehamilan postterm.
b)      Ketuban pecah dini.
c)      Kondisi medis maternal (DM tipe 1, penyakit ginjal, penyakit paru-paru, hipertensi gestasional, hipertensi kronik).
d)     Kehamilan dengan potensi terjadinya gangguan kesejahteraan janin (IUGR, hasil pemantauan janin yang tidak menguntungkan).
e)      Anti phospholipid sindrom (APS).
f)       Dicurigai atau terbukti adanya korioamnionitis.
g)      Solusio plasentae.
h)      Intra Uterine fetal Death.
i)        Kadangkala dilakukan atas alasan “sosial” atau “geografik”, tanpa alasan medis atau obstetrik.

KONTRA INDIKASI
Yang merupakan kontra indikasi induksi persalinan juga merupakan kontra indikasi untuk terjadinya persalinan atau persalinan pervaginam.
a)      Kontra indikasi MUTLAK:
1)      Kontra indikasi maternal: Herpes genitalis aktif, kondisi medis kronis yang serius, disproporsi sefalopelvik mutlak.
2)      Kontra indikasi janin: Malpresentasi janin, Fetal distress.
3)      Kontra indikasi uteroplasental: Tali pusat menumbung, Plasenta previa, Vasa previa, Riwayat histerotomi dengan insisi vertikal/kalsik.

b)     Kontra indikasi RELATIVE:
1)      Kontra indikasi maternal: Karsinoma serviks, Grandemultipara, Over distensi uterus (karena hidramnion atau kehamilan kembar).
2)      Kontra indikasi janin: Makrosomia janin.
3)      Kontra indikasi uteroplasental: Plasenta letak rendah, Perdarahan vaginal dengan sebab tidak jelas, Presentasi tali pusat/Tali pusat  terkemuka, Riwayat miomektomi yang mencapai cavum uteri.

SYARAT
Sebelum melakukan induksi persalinan, hal-hal tersebut berikut harus dievaluasi:
a)      Indikasi untuk induksi persalinan / adanya kontra indikasi induksi.
b)      Usia kehamilan.
c)      Kematangan serviks ( dinilai dengan skore Bishop)
d)     Penilaian keadekuatan panggul dan ukuran janin atau presentasi janin.
e)      Kondisi kulit ketuban (intak atau telah pecah).
f)       Kesejahteraan janin / monitoring DJJ sebelum induksi persalinan.
g)      Dokumentasi hasil diskusi dengan penderita tentang indikasi induksi persalinan dan penjelasan faktor risiko.

METODE INDUKSI
Terdapat dua cara untuk induksi persalinan / pematangan serviks, yaitu: secara mekanis atau secara farmakologis (dengan obat-obatan).
1)      Metode Mekanis: Mekanisme kerja metode mekanis adalah mendilatasi serviks dengan memberikan tekanan secara mekanis dan meningkatkan produksi prostaglandin. Keuntungan metode ini adalah: mudah digunakan, reversibel, efek samping tertentu lebih rendah (misalnya aktivitas uterus yang berlebihan), dan biaya lebih murah. Dapat mempergunakan dilatator higroskopik (laminaria, lamicel), dengan balon kateter, dengan balon dan infus salin ekstra amnion (EASI), stripping of the membrane, dan amniotomi.
2)      Metode Farmakologis: Dapat dipergunakan prostglandins (PGE1, misoprostol; PGE2, dinoprostone; dan PGF2 alfa), mifepriston, estrogen, relaksin, dan oksitosin.

PENGGUNAAN MISOPROSTOL UNTUK INDUKSI
Misoprostol adalah analog prostaglandin E1 sintetik yang tidak mahal yang dijual dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tukak lambung atau duodenum akibat pemakaian NSAIDs. Banyak penelitian mendukung pemakaian misoprostol pervaginam cukup efektif sebagai obat untuk pematangan serviks dan  induksi persalinan.
Misoprostol dapat diberikan secara oral, vaginal, atau sub lingual. Pemberian pervaginal dengan menempatkan tablet pada forniks posterior vagina. Misoprostol vaginal dengan dosis lebih dari 25 ug setiap 4 jam lebih efektif, tetapi lebih sering menyebabkan hiperstimulasi uterus. Oleh karena itu lebih dianjurkan pemberian dengan dosis 25 ug dengan interval pemberian 4 – 6 jam.

PEMAKAIAN OXYTOCIN UNTUK INDUKSI PERSALINAN
Oksitosin intravena telah lama dipergunakan sebagai obat untuk induksi persalinan, kurang lebih sejak tahun 1950 an.
1)      Oksitosin memiliki waktu paro 5 – 12 menit, dan tetap mempunyai respon terhadap uterus  dalam 30 menit atau lebih.
2)      Dosis ideal oksitosin tidak diketahui. Pada penelitian didapatkan peningkatan dosis tidak lebih sering dari 30 menit didapatkan: lebih jarang menyebabkan aktivitas uterus yang berlebihan, lebih besar kemungkinan untuk persalinan pervaginam, lebih jarang menyebabkan infeksi post partum dan perdarahan post partum, lebih jarang berakhir dengan bedah sesar.
3)      Dosis permulaan adalah 0,5 – 2,0 mUI/menit, ditingkatkan 1,0 mUI/menit setiap 30 – 60 menit dengan dosis maksimum 16 – 40 mUI/menit.



PENGELOLAAN PADA KASUS HIPERSTIMULASI
Jika terjadi hiperstimulasi uterus (aktifitas uterus yang berlebihan), yang menyebabkan gambaran denyut jantung janin yang buruk, segera lakukan tindakan untuk menghentikan kontraksi uterus yang berlebihan.
1)      Jika mempergunakan tablet vaginal, segera ambil sisa obat yang mungkin masih terdapat dalam vagina. Jika mempergunakan infus oksitosin segera stop tetesan infus.
2)      Segera anjurkan penderita untuk tidur miring ke kiri.
3)      Segera berikan oksigen dengan masker.
4)      Jika tidak ada perbaikan dengan langkah di atas, dapat diberikan tokolitik. Dapat diberikan terbutalin 250 mcg subkutan atau intravena, atau nitrogliserine 50 – 200 mcg secara intravena.



DAFTAR PUSTAKA
1.      Moeloek FA, Nuranna L, Wibowo N, Purbadi S. Standar pelayanan medik. Obstetri dan Ginekologi. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Jakarta, 2002.
2.      Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Postterm pregnancy. In: Williams Obstetric. 23rd Ed. McGrawHill Medical, New York, 2010.
3.      Denney JM, Sciscione A. Induction of labor. In: Berghella V. Obstetric evidence based guidelines. Series in Maternal Fetal Medicine. Informa healthcare, UK, 2007.
4.      Norwitz ER. The management of postterm pregnancy. Departement of obstetrics, gynecology, dan reproductive science, Yale-New Haven Hospital, New Haven, CT 06520.
5.      Crane J. Induction of labour at term. SOGC clinical practice guideline. JOGC, August 2001, No. 107. P.1-9.

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.